BREAKING NEWS

Recent Posts

Sembilan Bersaudara


SEMBILAN BERSAUDARA


Saya adalah anak ke-4 dari 9 bersaudara. Apakah hidup ini demikian pendek? Pertanyaan tersebut mucul saat ini tatkala khayalan menerawang jauh saat umurku masih anak-anak sekitar 5 tahun. Peristiwa sakit penyakit mencret yang secara terus menerus di tempat tidur tanpa ada keberanian untuk menyampaikannya kepada orang tua kok tidak berdampak kepada pertanyaan di atas aku tidak habis pikir. Karena penyakit seperti itu apabila disikapi saat ini tentu akan mengalami dehidrasi dan tentu akan menjadi serius apabila tidak segera dibawa ke rumah sakit untuk diinfus.

Sekarang kurang lebih 47 tahun kemudian suatu waktu yang demikian panjang, suka duka silih berganti boleh hadir oleh karena bimbingan Tuhan, demikianlah 9 bersaudara boleh melangkahkan kaki menepaki kehidupannya dengan benih bunga-bunga yang mewarnai antara satu dengan lainnya. Kehidupan keberagaman pada umumnya di kota Balige yang biasa-biasa saja tanpa ada sentuhan berarti secara emosional dengan Tuhannya sekalipun aktif mengikuti berbagai kegiatan di gereja. Semuanya berlalu begitu saja sampai pada suatu saat terdengar kabar bahwa abang nomor 2 yang bernama Hotman Siahaan mengalami pertobatan di Jakarta.

Kata bertobat sesuai Firman Tuhan adalah berbalik dari kehidupan lama ke kehidupan baru di dalam Kristus. Figur Kristus menjadi sesuatu yang spesial dan baru dalam kehidupan dia sekalipun Nama itu sudah lama terdengar dalam kehidupan keluarga kami. Melalui pertobatan 1 orang dalam keluarga kami, satu persatu kami mengalami pertobatan itu (5 sintua dan 1 pendeta), menjadi hidup baru, mengenal Kristus secara pribadi dengan benar sebagaimana disyaratkan Alkitab. Pengalaman inilah yang selalu menyadarkan saya bahwa setiap peristiwa demi peristiwa yang terjadi baik suka maupun duka tidak terlepas dari kuasa pertolongan Tuhan dalam keluarga kami.

Bagaimana Tuhan bekerja melalui abang nomor 1, Luhut Siahaan yang berurai air mata pada saat mendengar di Medan tempatnya menyabung hidup, bahwa saya sudah putus sekolah kelas 2 SMP. Entah mengapa saya menyetujui saja tidak bersekolah lagi atas saran ibu untuk selanjutnya bekerja di pabrik sarung yang biasa disebut “parkacukcak” dengan alasan untuk membantu nafkah keluarga sehari-hari. Tidak sebatas berurai air mata, dia bergegas pulang dari Medan dan secara konkrit menyatakan keprihatinannya dan menyatakan kepada ibu agar saya bersekolah kembali. Karena pada saat itu yang berhenti sekolah adalah saya dan abang persis di atas saya, Purman Siahaan, untuk lebih konkrit lagi abang Luhut berkata : “biar Purman yang bersekolah di Medan dan biaya dari saya, sementara Edison tetap bersekolah di Balige dengan biaya dari usaha ibu sebagai “partiga-tiga” dengan nama populernya “kedai sampah”. Disebut dengan istilah tersebut karena jenis dagangannya terdiri dari macam-macam komoditi kebutuhan rakyat sederhana.

Kehidupan sederhana sesederhana kota Balige (ke sekolah jalan kaki, makan apa adanya di rumah, dan biaya sekolah relatif tidak terlalu mahal) tidak seperti kota Medan yang demikian ramai yang berimplikasi kepada biaya yang beragam juga berperan membuahkan hasil untuk menyelesaikan sekolahku sampai SMA, namun tidak demikian dengan abang Purman yang tidak dapat menyelesaikan sekolahnya dan kembali ke Balige serta beberapa waktu berselang berangkat merantau ke Jakarta dengan hanya bermodalkan ijazah SMP.

Setamat SMA, sebagaimana lajimnya orang Batak akan pergi merantau, demikianlah kugenggam secarik kertas bertuliskan sebuah alamat yang dituju di Jalan Ario Damar Palembang. Sebelumnya pada suatu malam sempat berceloteh dengan seorang gadis bernama Kartini boru Tampubolon yang dijustifikasi oleh sekitar sebagai pacarku. Saya kurang yakin akan penilaian itu di satu sisi karena berbagai harapan ternanti akan dapat direalisasikan bersama ketika harinya tiba. Namun di sisi lain berbagai surat kuluncurkan untuk mengetes proses harapan tersebut dan sama sekali tidak pernah mendapat respons sampai suatu saat bertemu dengan dia di Jakarta dan mencoba menanyakan hal tersebut. Surat yang saya layangkan memang sampai ke tangannya dan dibaca. Pertanyaan susulanku mengapa tidak dibalas, dia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan soal yang lain merupakan syarat bagiku untuk tidak masuk lagi dalam realisasi harapan-harapan masa lalu itu. Kami berpisah dan terakhir kudengar berita bahwa dia menikah dengan seorang sarjana dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) bermarga Sihombing.

Jalan Ario Damar Palembang yang kutuju demikianlah Ibu membekaliku uang sebesar Rp 40.000,00 pada tahun 1977. Aku naik bus Antar Lintas Sumatra yang sebelumnya mampir ke rumah abang Luhut yang bekerja di perusahaan udang milik T.D. Pardede di Sibolga. Perjalanan 3 hari 3 malam tiba di kota Palembang persis di bawah jembatan Ampera di sebelah hulu. Oleh karena alamat yang kutuju terletak di sebelah hilir aku harus menyeberang dengan perahu “getek”. Saking asingnya daerah itu dan minimnya bahkan belum adanya pengalaman hidup jauh dari sanak keluarga kucoba berkomunikasi dengan seorang anak kecil yang ternyata kesehariannya bekerja sebagai kenek perahu “getek” yang hilir mudik menawarkan jasa penyeberangan. Saya meminta untuk diseberangkan sekaligus mohon ditunjukkan angkutan ke Jalan Ario Damar yang pada akhirnya sampai juga ke pabrik Plywood di desa pedalaman pinggir sungan Musi tepatnya Desa Prajen. Setelah tiba di depan pabrik, bertanya kepada Satpam yang sedang jaga, ditunjukkannya satu rumah yang pemiliknya bermarga Sianturi boru Panggabean yang ternyata tempat mangkal orang-orang Batak. Karena saat itu hari kerja, terlihat rumah tersebut agak sepi dan saya disambut oleh Ny. Sianturi boru Panggabean bersama anak perempuannya. Setelah menanyakan nama yang tertera dalam alamat yang saya pegang, Aren Tampubolon, anak perempuan amang Sianturi itu menjawab bahwa yang bersangkutan sedang berlayar ke Jakarta dan sebaiknya agar saya menyusulnya ke Jakarta. Di tengah kebingungan saya harus menyusul Aren ke Jakarta, bagaimana caranya! Tiba-tiba Ny. Sianturi boru Panggabean mengatakan agar saya menunggu Aren pulang dari Jakarta dan untuk sementara tinggal saja dulu di rumah mereka.

Sambil menunggu kepulangan Aren, selama tinggal di rumah tersebut saya berkenalan dengan orang-orang Batak yang demikian baik-baik termasuk Bapa Uda Mangasa Siahaan nomor 13 Tuan Mauli menjanjikan akan memasukkan saya bekerja di pabrik Plywood tersebut karena Direktur Personalia adalah marga Sianipar kakak kandung istrinya. Segala sesuatu dokumen lamaran saya siapkan tinggal menyerahkan ke personalia, Aren Tampubolon, anak Namboru, cucu Ompung Datu Liar dari Lumbangorat tiba dari Jakarta dan minta kepada Bapa Uda Mangasa agar dia saja yang menyerahkan lamaran tersebut langsung kepada Direktur Personalia yang ternyata kenalan baik dia juga. Jadilah saya bekerja di pabrik tersebut dengan begitu mudahnya.

Bekerja tahun 1977, mengambil cuti dan jalan-jalan ke Jakarta dengan menumpang Kereta Api dari Stasiun Kertapati sampai Tanjung Karang untuk selanjutnya diseberangkan dengan kapal Pelni ke Merak. Saya berangkat berdua ke Jakarta bersama teman marga Siallagan, kelak menjadi penyanyi Pop Batak di Jakarta. Tujuanku ke Jakarta juga ke rumah Aren Tampubolon yang telah berhenti sebagai anak kapal dan tinggal serta wiraswasta di daerah Kebon Singkong Jakarta Timur bersama istrinya boru Siboro. Dari sana saya diantar ke rumah Bapa Uda (adik kandung bapak) di daerah Pondok Bambu Jakarta Timur. Di sana saya mendapat informasi bahwa abang Luhut sudah bekerja di Jakarta dan tinggal bersama teman sekerja di daerah Pulo Gadung Jakarta Timur. Saya ketemu abang Luhut di rumah tersebut dan lagi-lagi saya disarankan agar tinggal saja di Jakarta dengan 2 pertimbangan, yakni 1) Kau kan bekerja di pedalaman hutan Palembang, 2) Sebentar lagi kakakmu (istri abang) akan menyusul ke Jakarta. Ternyata abang meninggalkan kakak di Balige saat ada tawaran dari Bapa Uda dan atau Inang Uda nomor 4 untuk berangkat ke Jakarta. Tawaran itu langsung saya tangkap karena memang cita-cita saya sejak lama adalah tinggal di Jakarta. Sementara menunggu kakak datang ke Jakarta, saya tinggal di rumah Bapa Uda di Pondok Bambu sampai tiba saatnya Inang Uda Pondok Bambu “pajaehon” keluarga abang dengan mengontrak di daerah Kebun Singkong berdekatan dengan Lae Aren Tampubolon. Sebelumnya saya diantar oleh abang Luhut ke rumah abang nomor 2, Hotman Siahaan yang mengontrak bersama kawan-kawannya di daerah Tanah Abang Jakarta Pusat.

Abang yang satu ini tidak mengenal saya lagi karena saya masih baru lulus kelas 6 SD, dia sudah berangkat ke Jakarta. Abang Luhut bilang pada abang Hotman bahwa saya akan tinggal di Jakarta sementara pekerjaan di Palembang akan saya tinggalkan. Abang Hotman berkomentar berdasarkan kondisi saat itu : “kau akan lebih berat hidupmu tinggal di Jakarta apabila dibandingkan dengan hidup di Palembang yang sudah ada pekerjaan. Saya tidak begitu menyimak apa maksud ucapan tersebut pada saat itu karena tidak fokus, namun melihat kenyataan saat ini tentu perlu dikaji lagi makna sesungguhnya. Kamipun pamit dan kembali ke Pondok Bambu.

Tinggal di rumah abang Luhut, saya disuruh kursus mengetik dan tata buku bond A. Saya satu-satunya yang lulus ujian negara tata buku bond A dari tempat saya kursus “Wijawa College” menghantar saya menjadi Pegawai Negeri Sipil di Biro Keuangan Sekretariat Negara. Abang nomor 3, Purman Siahaan memperkenalkan saya dengan seorang pejabat Sekneg, Kepala Bagian Keuangan di Sekretariat Menteri Negara Riset dan Teknologi bernama Drs. Daulat Siahaan yang kami panggil Bapa Uda nomor 13 Tuan Mauli. Bapa Uda ini mempunyai adik kandung sebagai tukang tambal ban di daerah Cililitan Jakarta Timur tempat abang Purman mangkal dalam kesehariannya. Saya berkesempatan mendapat rekomendasi dari Bapa Uda ini untuk mendaftar ke Sekneg karena nilai ijazah saya sesuai dengan yang disyaratkan ditambah ijazah mengetik terlebih ijazah tata buku bond A.

Selama menjadi PNS, kerap kali kudapatkan kemudahan dari pimpinan di berbagai kesempatan oleh karena kasih setia Tuhan melalui pekerjaan saya. Para pimpinan itu selalu mengikutkan saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menambah penghasilan ekstra seperti mendampingi pada saat ada undangan dari instansi lain, turne ke daerah mengecek hasil proyek yang dibiayai dari bagian anggaran Sekneg, dan lain sebagainya. Tambahan penghasilan ini mendorong tekadku untuk merealisasikan impian yang hampir sirna yaitu kuliah. Saya mendaftar dan kuliah di Universitas Krisnadwipayana Jakarta Fakultas Ilmu Administrasi Jurusan Administrasi Niaga. Sudah barang tentu penghematan luar biasa saya terapkan untuk dapat membiayai kebutuhan perkuliahan, namun entah kenapa masalah yang saya hadapi tentang yang satu ini dapat lebih longgar oleh karena kecekatanku merapikan catatan-catatan perkuliahan dan argumen-argumen yang kuketengahkan pada saat diskusi baik itu di kelompok maupun di kelas serta menyiapkan pekerjaan-pekerjaan rumah yang diwajibkan oleh dosen untuk dikumpulkan, membuat kawan-kawan tertarik dan memasukkan saya salah satu yang dipertimbangkan dalam agenda mereka terkait dengan kewajiban tersebut. Terlebih bagi mereka yang waktunya tidak terlalu banyak oleh karena posisi yang telah mapan di perusahaan tempat bekerja. Pun mereka yang menjadi wiraswasta seperti seorang kawan dari etnis Tionghoa, bernama Chris Sujanto adalah kawan yang satu ini membantu membayar uang kuliah dengan membuka cheque yang seumur hidup baru menyaksikan yang namanya cheque adalah bentuknya seperti itu.

Demikianlah sekalipun tertatih-tatih namun pasti saya menyelesaikan kuliahku dan disesuaikan dengan pangkat/golongan Penata Muda (III/a) di kantor yang menghantar saya menjabat Eselon IV, Kepala Subbagian. Selama 9 tahun menjabat Kepala Subbagian kemudian promosi menjadi Kepala Bagian, Eselon III di lingkungan Istana Kepresidenan selama 8 tahun. Tahun 2001 Kepala Bagian Keuangan, tahun 2001 – 2003 Kepala Bagian Pembayaran dan Pembukuan, tahun 2003 Kepala Bagian Urusan Dalam, tahun 2003 – 2008 Kepala Bagian Kepegawaian, dan pada November 2008 menjadi Direktur Keuangan dan Umum Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran Satuan Kerja Sekretariat Negara. Jabatan ini fasilitasnya setara dengan Eselon II kupikir cukuplah menjadi jabatan puncak bagiku sebagai Pegawai Negeri Sipil, kecuali Tuhan berkehendak lain untuk mencapai puncak karir yang disediakan oleh struktur bagi setiap Pegawai Negeri Sipil, yaitu Eselon I.

Dalam kurun waktu tersebut di atas selama menjabat, berbagai pendapat, usulan, saran, bahkan tekanan sesuai dengan pengalaman baik secara teori dan terapan mewarnai keputusan-keputusan yang kuambil dalam hal berkomunikasi dengan semua saudara. Kadang-kadang sikap ini membuat salah paham di antara sesama keluarga sering muncul. Salah satu di antaranya yang tidak akan pernah terlupakan adalah saat abang Luhut opname di RS Mitra Keluarga Jatinegara. Saya sedang besuk kemudian disusul oleh abang Hotman dengan reaksi berurai air mata sambil menanyakan kondisi abang Luhut yang sedang berada di ICU. Memang abang yang satu ini terlalu melankolis semenjak ditinggal oleh istrinya kepangkuan Allah Bapa di surga. Dengan tidak berpikir yang tidak-tidak dan tidak ada maksud lain selain saya komplain dengan berkata : “mengapa harus menangis, memang abang tidak pernah memperhatikan keluarga kita.” (sebagai catatan soal ini, yang saya maksudkan adalah perhatian secara intensif pelayanan tentang iman, bukan soal materi). Karena memang saya berharap semenjak abang Hotman pensiun sebagai Kepala Perpasaran DKI Jakarta tentulah dia dapat secara intensif melayani saudara kandungnya tentang iman yang nota bene masih banyak yang harus dibenahi. Pada hal pelayanan semacam itu sungguh dilakukan dengan all out bagi orang lain, kenapa tidak dengan keluarga sendiri. Hal ini juga semakin menambah keyakinan saya (keluarga belum terlayani betul) mendengar abang Luhut dalam masa kritis tidak ada semacam refleks dalam hatinya untuk menyerahkan tubuh, jiwa, dan rohnya ke dalam tangan Tuhan Yesus.

Atas dasar peristiwa tersebut, saya mendapatkan email dari abang Hotman dengan judul “hata”. Ternyata komplain saya di RS Mitra tersebut menjadi pemicu dari sekian kata-kata saya selama ini yang disalah tafsirkannya dengan membuat daftar panjang perhatian yang dibuat abang Hotman secara materi (pada hal yang saya maksud adalah perhatian iman) kepada seluruh keluarga abang dan adik-adiknya termasuk pinjaman saya sejumlah rupiah untuk biaya pernikahan saya tahun 1988. Memang permasalahan ini segera saya tuntaskan setelah membaca email tersebut langsung mendatanginya ke ruamah di Kebun Jahe Tanah Abang Jakarta Pusat. Namun perlu juga permohonan maaf yang telah kusampaikan kepada abang Hotman pada saat itu saya sempurnakan dengan mohon ampun kepada Tuhan karena saya sudah mendukakan hati abangku dengan diilhami pada saat istri latihan menyanyi untuk kebutuhan jadual sebagai song leader di kebaktian minggu gereja HKBP Serpong dimana salah satu nyanyiannya dari Kidung Jemaat Nomor 467 : 1 ~ 3 “TUHANKU, BILA HATI KAWANKU” 1) Tuhanku bila hati kawanku, terluka oleh tingkah laku ujarku, dan kehendakku jadi panduku, ampunilah. 2) Jikalau tuturku tak semena, dan aku tolak orang berkesah, pikiran dan tuturku bercela, ampunilah. 3) Dan hari ini aku bersembah, serta padaMu Bapa berserah, berikan aku kasihMu mesra, Amin, amin.

Dari 9 bersaudara hanya 1 orang perempuan, anak nomor 6, Saur Marsinta boru Siahaan salah satu yang kurisaukan karena sudah sampai berumur demikian dewasa belum juga mendapatkan jodoh. Ito ini begitu panggilannya sehari-hari tinggal bersama dengan saya selama kurang lebih 10 tahun. Suka duka banyak terjadi salah satu di antaranya masalah perjodohan tersebut karena hanya ito ini yang belum berkeluarga dari 9 bersaudara tadi.

Oleh karena kemurahan Tuhan, saya mencoba membujuk agar ito pulang ke Lumban Gorat Balige bertemu dengan adik nomor 5, Briston Siahaan mengingat ada informasi bahwa ada yang mau dijodohkan oleh istri adik itu dengan seseorang yang masih ada hubungan famili. Tawaran tersebut sungguh sangat susah masuk dalam pemahaman ito yang nota bene seorang yang berpendirian kaku dan keras. Saya mencoba membujuk dan akhirnya dia bersedia melakukan saran saya. Sepulang dari Lumban Gorat, event tersebut tidak saya sia-siakan segera menyusul usulan baru agar calonnya diundang ke rumah dan bila perlu kirim tiketnya. Saran ini juga dipenuhi dan jadilah kami berkenalan dengan calon lae itu di rumah.

Hari yang ditentukan untuk masuk ke mahligai rumah tangga juga tiba, kami 9 bersaudara terbang ke kampung keluarga Sianipar di Pematang Siantar. Betapa bahagianya ito dan lae saat itu dan terus terang belum pernah kulihat ito saya secantik pada saat menjadi pengantin. Sekiranya ibu tercinta masih hidup dan dapat menyaksikan peristiwa ini sungguhkah menyukakan hatinya? Semoga hal tersebut dapat dinikmati beliau di sorga yang mulia. Pertama-tama suami ito ini yang juga berprofesi sebagai pengemudi di kampung halamannya juga bergabung dengan usaha transportasi yang kami sediakan, namun kelihatannya tidak lagi digemari. Mungkin sudah bosan dengan profesi ini karena sudah terlalu lama dan pada suatu ketika kucoba menawarkan agar kami berdua bersama mengantar saya setiap harinya berangkat ke kantor tempat saya bekerja di lingkungan Istana Kepresidenan. Saya menyisihkan sedikit gajiku setiap bulan sebagai pengganti transport bagi lae. Demikianlah kami setiap hari bersama pergi pulang ke kantor selama hampir 2 tahun lamanya dan pada saatnya saya dipromosikan menjadi Direktur Keuangan dan Umum Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran Sekretariat Negara. Kesempatan ini tidak kusia-siakan terlebih masih ada formasi di tempat saya yang baru jadilah kumasukkan laeku ini menjadi pegawai di kantor tersebut. Cita-citaku agar laeku ini mempunyai penghasilan yang menetap tercapai sudah yang oleh kemurahan Tuhan hal ini bisa mengubah persepsi ito selama ini terhadap lae sebagai suaminya (penyandang pengangguran), berubah menjadi bahwa lae adalah kepala keluarga dalam keluarga mereka (karena memang demikianlah yang seharusnya).

Ketawanya adik nomor 7 ini, Panahatan Siahaan sungguh menggugah karena bunyinya yang khas kadang membuat yang mendengar ikut tertawa bukan karena lelucon yang benar-benar lucu tapi oleh karena mendengar tertawaan yang khas tersebut. Peristiwa PHK besar-besaran yang melanda perbankan Indonesia oleh karena krisis ekonomi akut berimbas kepada adik ini. Pesangon yang tidak banyak namun dihitung cukup untuk ditukar dengan rumah tidak kesampaian karena pengelolaannya yang kurang cermat sehingga berakibat besarnya pasak dari pada tiang. Tinggal di rumah dinas sitaan bank oleh BPPN pada akhirnya dijual oleh perususahaan untuk membayar hutang bank tempat dia bekerja dulu memaksa dia hengkang dari sana dan tinggal di rumah kontrakan dengan pekerjaan yang tidak menjanjikan yang terkadang hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak istri. Melihat hal ini persis di depan mata, saya dengan seijin istri menyediakan sarana transportasi untuk diusahakan dan sebuah rumah untuk ditinggali dengan harapan akan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan terbebas dari biaya kontrak rumah. Hal ini terus berlangsung dan entah sampai kapan dia menggeluti profesi ini sekalipun istriku selalu menyarankan agar sang istri adik ini dapat membantu sang suami dengan membuka usaha kecil-kecilan seperti dagang ya dagang apa saja namun sampai saat ini belum pernah dilaksanakan. Akhirnya kami putuskan menghibahkan sarana transportasi tersebut kepadanya untuk diusahakan secara mandiri, sekali lagi entah sampai kapan dia tetap menggeluti profesi ini.

Pengalaman dengan adik nomor 8, Mauli Siahaan, seorang pendeta tidak terlalu banyak kecuali pada saat dia sekolah di SMA 4 Jakarta. Tiba saat mengambil raport tiba-tiba saya sebagai wali tidak boleh mengambil raport dimaksud karena uang SPP belum dibayar. Pada hal semua telah dibayar oleh abang Luhut yang membiayai kebutuhan sekolahnya. Karuan saja dia mengaku bahwa uang SPP telah terpakai olehnya dan minta tolong jangan sampai diketahui oleh abang Luhut. Saya selesaikan kewajiban itu dengan menggunakan gaji saya sebagai PNS yang pas-pasan. Harapan kami keluarga kepada Mauli adalah menjadi orang yang berhasil dan oleh karena alasan itulah dia diusahakan untuk bersekolah di Jakarta yang sebelumnya bersekolah di SMA 1 Balige. Hal ini tidak terlebpas dari banyak orang yang menyaksikan bahwa Mauli adalah seorang yang memiliki otak cemerlang. Kesaksian banyak orang tersebut tidak saya dapatkan secara riel karena melihat nilai raport yang setiap kali saya sebagai wali untuk mengambil tidak terlalu membanggakan. Jadilah dia sebagai seorang pendeta, dan khotbahnya yang cemerlang dan meledak-ledak dan penuh daya tarik membuat pikiran saya merangkai kata-kata bahwa otak yang cemerlang yang disaksikan oleh sekitar dia dulu tempatnya adalah di bidang meyakinkan orang akan iman yang benar di dalam Kristus Yesus.

Kontraktor demikianlah profesi adik paling buncit nomor 9, Dorman Siahaan. Memperhatikan adikku bontot ini sebentar lamunanku melayang ke salah satu kampung di Pardede Onan Balige tempat kami tinggal dulu bersama orang tua. Dengan celana pendek dan perawakan kecil sukar kuungkapkan namun di benakku jelas dan terang benderang kondisi dia saat itu mencoba menyanyikan sebuah lagu pada saat malam hari pergi main ke Pardede Onan yang relatif gelap dan banyak ceritra tentang makhluk halus (begu). Saya menyaksikan itu dengan agak tertawa dalam hati, pastilah dia menyanyi itu oleh karena ketakutan terhadap ceritra begu tadi. Pada hal dia berkepentingan untuk bergabung bermain dengan kawan-kawan yang sudah sejak lama di Pardede Onan tersebut. Demikianlah dia mucul di Jakarta setelah menamatkan sekolah STM dan sebagaimana yang lainnya pastilah pergi merantau. Kemunculannya pada saat itu kucoba membayangkan kejadian di atas dan memang tidak jauh beda. Aku berpikir, mengapa pikiran tersebut selalu mewarnai lamunanku terhadap adik yang satu ini aku tidak perlu mereka-reka yang pasti hal tersebut muncul begitu saja tanpa dikomando, kecil mungil, celana pendek, nyanyi untuk mengusir ketakutan sementara dia merasa harus ikutan bermain di kampung Pardede Onan di belakang rumah kami.

Jabatan demi jabatan yang kusandang tidaklah terlalu berlebihan apabila dapat membantu profesinya sebagai kontraktor. Hal ini saya perjuangkan di berbagai kesempatan untuk mendapatkan proyek dengan satu persyaratan : “Jangan sampai di mark up, kalau kau mau bagi pada orang-orang di sekitar proyek ambil dari keuntungan perusahaanmu.” Proyek pengadaan atau fisik tersebut seperti pengadaan brankas di Biro Pengelolaan Bantuan Presiden, pengecatan gedung Istana Negara, renovasi ruangan telepon istana, pengadaan obat-obatan perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka, pemeliharaan dan pembangunan kawasan Kemayoran dan Gelora Bung Karno. Semoga Dorman Siahaan, Direktur CV Samdevon dikuatkan oleh Tuhan untuk tampil beda dari kontraktor-kontraktor yang lain yang sudah menjadi rahasia umum tentang bagaimana caranya mendapat proyek di negeri ini.
Sembilan Bersaudara Sembilan Bersaudara Reviewed by edisonsiahaan on 1:11 AM Rating: 5

2 comments:

  1. hahaha. Tuhanku bila hati kawanku itu lagu favoritku di KJ pah. dan cukup surprise jika ternyata menjadi penggerak papah untuk memperbaikin kata2 yang mungkin salah keluar.

    ReplyDelete
  2. Kesan saya membaca artikel ini, seolah-olah saya sedang berada di bawah pohon rindang dan teduh, kemudian mendengar seseorang menceritakan sebuah kisah hidup.
    Mantap amang. Semoga tetap menjadi penulis kisah hidup. Dan tetap menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

    ReplyDelete

Sora Templates